Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (UNMUL), telah berlangsung Webinar dengan Tema “Refleksi Nilai-Nilai Etika dan Moral Dalam Mencegah Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim di era Digital” yang diselenggarakan oleh Klinik Etik dan Advokasi Fakultas Hukum UNMUL Tahun 2022 bekerjasama dengan Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia (RI), Kamis 13/10/2022, bertempat di Aula Lantai 3 FH UNMUL.
Kegiatan tersebut dibuka langsung oleh Dekan FH UNMUL, Dr. Mahendra Putra Kurnia, S.H., M.H., bertindak sebagai keynote speech Ketua KY RI, Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.H. Kegiatan ini diikuti oleh ratusan peserta, baik dari mahasiswa, Penghubung KY Kaltim, akademisi dan perwakilan Hakim juga perwakilan Kejaksaan Negeri Samarinda.
Beberapa narasumber yang hadir dalam kegiatan tersebut adalah Nur Salamah, S.H. Hakim Pengadilan Negeri Samarinda. Mohammad Mahdy, S.H., M.H., Kasi Intel Kejaksaan Negeri Samarinda, Yulius Patanan, S.H., M.H. Advokat dan Dr. Ivan Zairani Lisi, S.H., S.Sos., M.H., Akademisi Fakultas Hukum UNMUL Samarinda.
Dalam keynote speech Ketua KY RI, Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.H., menegaskan pentingnya seluruh elemen baik dari masyarakat dan seluruh lembaga penegak hukum di Indonesia untuk bersinergi dalam usaha menegakkan kode etik dan martabat hakim. Seturut itu, pemaparan KY juga menjelaskan kewenangan KY terkait bagaimana menjaga kehormatan dan martabat hakim melalui pengawasan yang dilakukan oleh KY. “Bahwa perbuatan merendahkan kehormatan martabat hakim tidak saja terjadi dalam ruang-ruang persidangan. Namun PMKH dapat juga terjadi diluar persidangan. Misal ketika pihak berperkara mengiming-imingi materi kepada hakim itu juga adalah bagian dari PMKH. Sudah waktunya bangsa ini membangun budaya menghormati hukum dan hakim sebagai aktor utama mesti mampu menjaga independensinya,” tutur Prof. Mukti.
Dari perspektif Nur Salamah Hakim PN, bahwa profesi hakim adalah profesi yang luhur. Hakim adalah wakil tuhan didunia. “Dalam bersidang hakim menjadi aktor utama diperadilan. Hakim memeriksa, memutus, dan mengadili perkara dengan berpegang dan mengikuti 10 kode etik hakim dalam setiap putusannya. Nur Salamah menambahkan dalam konteks era digital. “Hakim harus menjaga sikap dalam bersosial media, dalam berbicara tidak boleh mengandung SARA, dan mengandung provokasi. Hakim dalam bersosial media harus menerapkan komunikasi yang baik dan tidak mengandung kekerasan dan diskriminasi. Kalau semua dijalankan maka martabat setiap hakim akan berdiri tegak. Maka semua itu adalah tergantung bagaimana hakim bersikap dimanapun dan bagaimana ideal-ideal hakim dalam menempatkan diri,” ungkapnya.
Mohammad Mahdy, S.H., M.H., selaku Kasi Intel Kajaksaan Negeri Samarinda memaparkan bahwa peran Kejaksaan menurut UU No. 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan RI: Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.
Dalam konteks PMKH, Kejaksaan bekerja sama dengan Komisi Yudisial (KY) RI melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman Tentang Koordinasi Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Dalam Mewujudkan Peradilan yang Bersih pada 4 Februari 2020.
“Dalam tugas sehari-harinya Jaksa selalu bersinggungan dengan hakim, sehingga Jaksa diharapkan dapat membantu Komisi Yudisial dalam mengawasi dan advokasi hakim di daerah-daerah yang belum bisa dicover seluruhnya oleh Komisi Yudisial karena keterbatasan SDM,” tuturnya.
Dari perspektif Advokat, Yulius Patanan menjelaskan bahwa adanya PMKH lebih disebabkan oleh ketidakpuasan pencari keadilan dalam menanggapi Putusan Hakim. Yulius menggunakan istilah Contempt of court. Menurutnya faktor PMKH adanya perbuatan melawan hukum oleh oknum Hakim dan Penegak Hukum lainnya.
Terkait peran advokat dalam mencegah PMKH bisa dilakukan dengan bagaimana pemerintah dapat menetapkan standarisasi perekrutan advokat, agar advokat kedepan memiliki standar yang baik. Menurutnya, advokat selama ini terlalu bebas belum ada standar yang baku dan ideal. Yulius mencontohkan di Jepang, bahwa di Jepang ada wadah atau federasi Advokat yang menetapkan standarisasi perekrutan advokat. Kedepan proses penjaringan advokat mesti memiliki standarisasi dalam proses perekrutan agar yang terjaring adalah advokat yang berkualitas dan berkompeten. Menurutnya, jika advokat tidak memiliki integritas dan berkompeten akhirnya bisa berpikir pendek dengan menyuap hakim dan jaksa. Perlu adanya sanksi tegas komisi etik kepada advokat yang melakukan PMKH.
Dari perspektif akademisi yang dipaparkan oleh Dr. Ivan Zairani Lisi lebih menitikberatkan pada peran perguruan tinggi dalam mengimplementasikan 3 hal. Yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Kaitan dengan PMKH bahwa tugas akademisi adalah ketika melihat putusan hakim kita mesti melihat secara akademis.
“Banyak hoax yang merusak kebenaran, kita melihat merendahkan kehormatan hakim pasti dari sudut pandang yang berbeda, itu kalau kita mengkritik putusan hakim itu harus ada upaya biasa dan upaya luar biasa. Tugas kita adalah bagaimana examinasi dari kebenaran, yang harus kita lihat digitalisasi semuanya pasti membuka, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan yang ada di etika dan moral. Kita yang ada di perguruan tinggi itu, kita harus merefleksikan bagaimana etika dan moral,” ungkap Dr. Ivan. (*fhunmul/hms/zul)
Foto: Fakultas Hukum UNMUL
Published Date : 15/10/2022 21:20:00