Prodi AP FISIP UNMUL Gelar Webinar Nasional


Dilaksanakan Secara Hybrid, Angkat Tema Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Program Studi (Prodi) Administrasi Publik (AP), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Mulawarman (UNMUL), sukses Gelar Webinar Nasional Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Topik tersebut diangkat, untuk menjawab permasalahan sosial yang membutuhkan perhatian dan tindakan tegas dari Pemerintah dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia, termasuk pada lingkungan Perguruan Tinggi.

Selain itu, dikarenakan ditemukan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan Tinggi menempatkan perempuan atau mahasiswi sebagai korban dengan angka lebih dari 90 persen. Atas dasar itu, sekaligus dalam memperingati Dies Natalis FISIP UNMUL ke 60 Tahun 2022, Prodi ini menyelenggarakan Webinar Nasional Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi dengan tema “Mampukah Kebijakan Negara Melindungi?”,  pada Selasa, (13/09) dengan peserta yang hadir secara langsung dan terhubung secara virtual atau konsep acara Hybrid.

Bertempat di Hotel Ibis, Kota Samarinda, Webinar ini menghadirkan empat narasumber dengan kompetensi dan pengalaman kerja serta kajian yang sangat banyak tentang isu-isu perempuan dan gender. Di kesempatan yang sama, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr. Ir. Encik Akhmad Syaifudin, MP membuka Webinar secara resmi didampingi Dekan FISIP UNMUL, Dr. H. Muhammad Noor, M.Si.

Mereka adalah Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan,  Abby Gina Boang Manalu, M.Hum, Dr. Indraswari sebagai pengurus DPP Indonesian Association for Public Administration IAPA. Adapula, Koordinator MDG's Bidang Gender sekaligus dosen Pascasarjana Magister Gender, Dr. Mardiana Ethrawaty Fachry serta Dr. Dhia Al Uyun sebagai Ketua Program Studi Magister Kajian Perempuan Universitas Brawijaya.

Membuka sesi diskusi, Koordinator Prodi S1 Administrasi Publik FISIP UNMUL, Dr. Fajar Apriani, M.Si menegaskan tentang pentingnya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi.

Di Webinar yang dihadiri lebih dari 250 peserta dari berbagai kalangan maupun institusi Perguruan Tinggi itu, diharapkan dapat menambah kepedulian, wawasan dan pengetahuan bagi para peserta tentang kekerasan seksual di Perguruan Tinggi yang dikupas dari seberapa jauh peluang keberhasilan kebijakan negara.

“Dimana tertuang dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Juga, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi beserta seluruh pedoman-pedoman pelaksanaannya,” tegasnya.

Diketahui, berdasarkan pasal satu Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Republik Indonesia, nomor 30 Tahun 2021, kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, atau menyerang tubuh, dan atau fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal

Hasil survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI Tahun 2020 menyebutkan bahwa 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus dengan kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan.

Selain itu, hasil survei menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2015-2020 Komnas Perempuan menerima 27 persen aduan kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan.

Data tersebut didukung oleh hasil survei Mendikbudristek yang mengungkapkan bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15 persen), setelah jalanan (33 persen) dan transportasi umum (19 persen).

Kekerasan seksual secara sosial diakui sebagai sebuah permasalahan, namun cenderung dipandang sebagai masalah moralitas, kesusilaan umum, kehormatan atau sebagai kejahatan terhadap keluarga dan masyarakat.

Maka dari itu kasus kekerasan seksual seringkali menimpakan beban moral dan stigma terhadap korban, bahkan keluarga korban, yang menyebabkan mereka malu untuk mengungkapkan pengalaman kekerasan yang pernah dialami. Sebab esensi kekerasan seksual sebagai pelanggaran terhadap integritas tubuh seorang individu, seringkali diabaikan.

Banyak pelapor yang ketika menghubungan teman, senior, konselor bahkan pihak kampus, justru kemudian memilih mundur karena malu, bingung, takut atau putus asa terhadap kemungkinan kasusnya ditangani.  Atau kebanyakan laporannya justru tersebar meluas menjadi bahan obrolan tanpa penyelesaian. Pelaku tetap mudah berkeliaran dan meninggalkan ketakutan pada oranglain. Atau bahkan "dilindungi" demi menjaga nama baik kampus.

Bahkan mirisnya, ada penanganan yang berupa pengiriman pelaku untuk studi lanjut dan sejenisnya, yang justru bukan bentuk dari punishment atas perbuatannya terhadap korban. Padahal, Perguruan Tinggi seharusnya berfungsi sebagai pusat pengembangan dan pembentukan watak dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Perguruan Tinggi juga seharusnya menjadi tempat yang menyediakan layanan pendidikan yang baik dan aman bagi seluruh sivitas akademika, termasuk aman dari kekerasan seksual. (*fani/hms/frn)

 

Foto: FISIP UNMUL

Pelaksanaan Webinar ini juga tayang secara Live Streaming pada link https://youtu.be/II2VXu6vFho  

Published Date : 14/09/2022 22:23:00