Menuju Ibu Kota Negara Eliminasi Malaria


Oleh: Prof. Dr. Iwan Muhammad Ramdan, SKP., M.Kes

Guru Besar Bidang Kesehatan & Keselamatan Kerja

Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat UNMUL

 

Malaria tidak hanya menjadi masalah kesehatan masyarakat di wilayah Ibu Kota Negara (Wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara), namun masih menjadi masalah kesehatan Indonesia maupun dunia

MENURUT laporan WHO (World Malaria Repport 2021), di seluruh dunia pada tahun 2020 terdapat 241 juta kasus Malaria dan 627.000 kematian akibat malaria. Terjadi peningkatan jumlah kasus pada tahun 2020 dibandingkan dengan 2019, dan 69.000 lebih banyak kematian. Sekitar dua pertiga dari kematian tambahan ini (47.000) terkait dengan gangguan dalam tindakan pencegahan, diagnosis, dan pengobatan malaria selama pandemi Covid-19.

Untuk daerah Asia tenggara (termasuk Indonesia), kasus malaria tergolong tinggi. Di region ini terdapat sembilan negara yang digolongkan negara endemik malaria, yang mana 5 juta kasus malaria yang terjadi telah berkontribusi pada 2% dari beban malaria kasus secara global. Dari ke lima negara tersebut, India menyumbang sekitar 83% dari semua kasus Malaria (Plasmodium vivax).

Sri Lanka telah disertifikasi bebas Malaria pada tahun 2016, tidak ada peningkatan yang signifikan dalam beban Malaria antara 2019 dan 2020 di wilayah ini. Timor-Leste dilaporkan masih terjadi 3 kasus, tiga kasus pribumi dilaporkan di 2020. Semua negara di Asia tenggara dilaporkan telah mengalami penurunan kematian akibat Malaria. Bhutan, Nepal dan Timor-Leste telah melaporkan nol kematian akibat Malaria kecuali Indonesia yang masih mengalami sedikit peningkatan kematian akibat Malaria.

Secara spesifik, di Indonesia sampai tahun 2021, terjadi 304.607 kasus Malaria, sebanyak 347 dari 514 (68%) kabupaten/kota di Indonesia sudah dinyatakan mencapai eliminasi malaria. Dalam rangka mencapai target Indonesia Bebas Malaria tahun 2030, telah dibuat 5 regionalisasi target eliminasi, yang terdiri dari provinsi di Jawa dan Bali (R1), provinsi di Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat (R2), Provinsi di Kalimantan dan Maluku Utara (R3), Provinsi Maluku dan Nusa Tenggara Timur (R4), dan Provinsi Papua dan Papua Barat (R5).

Kabupaten/kota endemis tinggi malaria masih terkonsentrasi di Indonesia bagian timur, diantaranya Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, satu provinsi di luar wilayah timur yang memiliki kabupaten endemis tinggi, yaitu Kabupaten Penajaman Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur.

Menanggapi pemberitaan Tribun Kaltim sebelumnya, bahwa wilyah IKN tinggi endemis Malaria dan berpotensi jadi wilayah sebaran, tulisan ini bertujuan untuk memberikan sumbang saran agar penurunan jumlah kasus dan tingkat kematian Malaria di Kalimantan Timur, terutama di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dapat dipercepat.

 

Pengertian, Gejala Umum dan Diagnosis

Malaria termasuk penyakit reemerging yang diinfeksikan oleh parasit bersel satu dari kelas Sporozoa, suku Haemosporida, keluarga plasmodium. Infeksi pada manusia dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari empat jenis plasmodium (p. Falciparum, p Malariae, p Vivax dan p. Ovale).

Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk keluarga Anopheles spp. Gejala malaria terdiri dari beberapa serangan demam dengan interval tertentu atau sering disebut parikisme, diselingi periode dimana penderita bebas dari demam (periode laten) pada penderita non imun.

Sebelum demam biasanya penderita mengalami gejala prodormal yaitu merasa lemah, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, mual, sakit ulu hati atau muntah. Seperti penyakit infeksi lainya, diagnosis Malaria didasarkan pada manifestasi klinis, uji imunoserologis dan ditemukannya parasit (plasmodium) pada darah penderita.

Untuk mendeteksi keberadaan dan jenis parasit yang ada di tubuh, serta penentuan jenis pengobatan anti Malaria yang akan diberikan kepada penderita, maka diagnosa Malaria saat ini dilakukan melalui pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium maupun Rapid Diagnostic Test (RDT).

 

Faktor Penyebaran Malaria

Kondisi kesehatan masyarakat di suatu wilayah sangat ditentukan oleh interaksi yang setimbang antara manusia dan aktivitasnya dengan lingkungan fisik, kimia, biologi serta sosial budaya. Kejadian infeksi Malaria adalah hasil interaksi dinamis antara faktor penjamu (host) yakni manusia dan nyamuk, bibit penyakit (agent) yakni parasit plasmodium dan faktor lingkungan (environment).

Faktor agen (agent): agen penyakit Malaria adalah parasit genus Plasmodium kelas Sporozoa, keluarga Plasmodiidae, orde Coccidiidae, dan sub orde Haeosporiidae. Telah dikenal hampir 100 spesies dari Plasmodia yang terdapat pada burung, monyet, binatang melata, dan pada manusia hanya 4 spesies yang dapat berkembang yaitu p. Falciparum, p. Malariae, p. vivax dan p. ovale. Agar dapat hidup terus sebagai spesies, parasit malaria harus ada dalam tubuh manusia pada waktu yang cukup lama dan menghasilkan genosit jantan dan betina pada saat yang sesuai untuk penularan.

Faktor penjamu (host): Malaria terdapat dua jenis yaitu host intermediet (manusia) dan host definitif (nyamuk betina). Pada dasarnya setiap orang dapat terkena Malaria, perbedaan prevalensi kejadian sebenarnya berkaitan dengan perbedaan kekebalan tubuh karena variasi keterpaparan terhadap gigitan nyamuk.

Beberapa faktor penjamu yang mempengaruhi kejadian Malaria antara lain: umur (anak-anak lebih rentan, orang dewasa dengan berbagai aktivitas diluar rumah di tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk pada malam hari lebih berisiko terkena), jenis kelamin (jika menginfeksi ibu hamil maka akan menyebabkan anemia yang lebih berat), ras (kelompok penduduk yang mempunyai Haemoglobin S lebih tahan terhadap infeksi P. Falciparum), Riwayat Malaria sebelumnya (yang pernah terinfeksi akan membentuk immunitas sehingga lebih tahan), pola hidup (seperti sering beraktivitas diluar rumah di malam hari, kebiasaan tidur tindak menggunakan kelambu/obat anti nyamuk), dan status gizi yang erat kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh.

Nyamuk Anopheles yang ada di Indonesia berjumlah sekitar 80-an spesies, 22 diantaranya dapat menularkan Malaria. Kehidupan nyamuk ini sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban, curah hujan dan sebagainya. Tingginya penularan sangat ditentukan oleh densitas/kepadatan dan frekuensi gigitan nyamuk, lamanya vektor hidup, lamanya siklus sporogami, angka sporozoit, dan adanya reservoir (manusia yang mempunyai parasit dalam darah).

Faktor lingkungan (environment), faktor geografi dan meteorologi Indonesia sangat menguntungkan transmisi Malaria, begitupun kondisi iklim di PPU. Sebagai gambaran, tahun 2021 rata-rata kelembaban di PPU 85%, suhu udara rata-rata 27,30C, kecepatan angin 3 knot, curah hujan yang cukup tinggi, dan ketinggian wilayah >500 mdpl. Kondisi ini sangat memudahkan perkembangbiakan nyamuk Anopheles.

Beberapa karakteristik lingkungan yang memudahkan terjadinya Malaria antara lain: Suhu lingkungan (mempengaruhi perkembangan parasit dalam tubuh nyamuk, suhu optimum berkisar 20-300C), kelembaban udara (kelembaban 60% merupakan batas terendah yang memungkinkan hidup nyamuk, kelembaban lebih tinggi akan membuat nyamuk lebih aktif dan sering menggigit), curah hujan (curah hujan yang tinggi dan diselingi panas matahari akan memudahkan perkembangbiakan nyamuk), topografi/ketinggian wilayah (Malaria akan berkurang pada daerah yang tinggi, hal ini berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata, ketinggian diatas 2000 meter jarang ada transmisi malaria), angin (kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk), sinar matahari (nyamuk Anopheles jenis Sundaicus lebih menyukai tempat teduh.

Sementara An. Hyrcanus dan An. Pinculatus lebih menyukai tempat terbuka), arus air (nyamuk Anopheles Barbirostris lebih mudah berkembang pada air yang statis atau mengalir lambat, Anopheles Minimus lebih mudah berkembang pada arus deras, Anopheles Letifer lebih menyukai air menggenang), dan kadar garam (nyamuk Anopheles Sundaicus tumbuh optimal pada air payau dengan kadar garam 12-18%).

 

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Malaria

Dari hasil review berbagai penelitian Malaria di Indonesia, disimpulkan terdapat dua faktor risiko yang sering menyebabkan tingginya angka kejadian penyakit Malaria yaitu faktor lingkungan dan faktor perilaku masyarakat. Faktor lingkungan antara lain: lingkungan rumah penderita yang tidak memenuhi syarat kesehatan (seperti tingkat kelembaban udara dan pencahayaan dalam rumah, sanitasi air dan kebersihan rumah, ventilasi rumah tidak dilengkapi dengan kawat kasa, tidak adanya langit-langit rumah, dinding rumah tidak rapat, konstruksi rumah tidak permanen), adanya breeding place/tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk di sekitar rumah, adanya kandang ternak dekat dengan rumah, adanya genangan air, tidak ada ikan pemangsa jentik nyamuk, adanya ternak besar adanya tumbuhan air, adanya rawa adanya semak-semak, adanya sawah, adanya parit/selokan yang tidak memenuhi syarat, keberadaan kolong rumah, bahan atap rumah tidak standar.

Faktor perilaku dan karakteristik masyarakat antara lain: tidak menggunakan obatanti nyamuk, kebiasaan berada diluar rumah pada malam hari, tidak menggunakan kelambu pada saat tidur, menggantung pakaian di dalam rumah, tidak memakai pestisida/insektisida, tidak memakai reppelant/obat oles penolak nyamuk, pendidikan rendah, pendapatan di bawah upah minimum, ketidakpatuhan minum obat, dan status gizi kurang.

 

Upaya Pengendalian

Upaya pengendalian penyakit Malaria dilakukan untuk menurunkan angka kejadian Malaria (angka kesakitan dan kematian) atau dikenal dengan istilah annual parasite incidence (API) melalui berbagai program, yang secara umum meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian vektor. Kesemua upaya ini ditujukkan untuk memutus mata rantai penularan Malaria. Sementara itu menurut Kepmenkes 293/2019, penghentian penularan malaria setempat dalam satu wilayah geografis tertentu melalui eliminasi malaria. Tahapan eliminasi malaria ini terdiri dari akselerasi, intensifikasi, pre-eliminasi dan pemeliharaan (telah dinyatakan eliminasi).

Untuk mempercepat proses eliminasi malaria, beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain: Akselerasi melalui kampanye anti nyamuk masal, penyemprotan dinding rumah di seluruh dengan (dengan API >40 0/00, dan penemuan dini-pengobatan tepat; Intensifikasi melalui pemberian kelambu anti nyamuk didaerah berisiko tinggi, penemuan dini-pengobatan tepat, penyemprotan dinding rumah pada lokasi kejadian luar biasa Malaria dan penemuan kasus aktif ; dan Eliminasi pada daerah endemis rendah melalui kegiatan penemuan dini-pengobatan tepat, penguatan surveilans migrasi, surveilans daerah rawan perindukan vektor (reseptif), penemuan kasus aktif (mass blood survey), dan penguatan Rumah Sakit Rujukan.

Selain program dari Kementerian Kesehatan tersebut, beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat upaya Eliminasi Malaria dari Ibu Kota Negara dapat dilakukan melalui pendekatan penyehatan lingkungan perumahan dan pendekatan perilaku. Penyehatan lingkungan dapat dilakukan melalui perbaikan kondisi perumahan sampai ke tingkat baik atau baik sekali (sesuai dengan standar rumah sehat), antara lain: perbaikan ventilasi perumahan (minimal 10% dari luas lantai), perbaikan dinding dan atap rumah dengan konstruksi yang permanen, penggunaan kawat kasa pada ventilasi rumah sehingga didapatkan tingkat kelembaban dan suhu rumah sesuai standar rumah sehat, pemberantasan breeding place/tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk di sekitar rumah, adanya kandang ternak dekat dengan rumah, menghilangkan genangan air disekitar rumah, menggunakan ikan pemangsa jentik nyamuk, dan memperbaiki parit/selokan sekitar perumahan.

Pendekatan perilaku dalam mempercepat eliminasi malaria antara lain: memperbaiki pengetahuan dan sikap masyarakat tentang malaria dan upaya eliminasinya, menghindari aktivitas di luar rumah pada malam hari, menghindari bepergian dan bermalam di tempat terbuka, menggunakan obat anti nyamuk, tidak mengantung pakaian di dalam rumah, menggunakan reppelant, memperbaiki pendidikan masyarakat, memperbaiki status gizi dan pendapatan masyarakat.

Published Date : 02/08/2022 14:38:00