Oleh: Dadang Ilham Kurniawan Mujiono
Dosen Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UNMUL
Mahasiswa Program Doktor di National University of Singapore (NUS)
Presiden Joko Widodo dan Presiden Vladimir Putin usai melakukan konferensi pers bersama di Istana Kremlin, Moskwa, Rusia, Kamis (30/6/2022).(Dok. Sekretariat Presiden)
BAGI saya, rangkaian kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia saat ini tidak hanya sekadar untuk menghentikan perang di antara kedua negara, tetapi lebih sebagai bentuk pembuktian kepada lawan-lawan politiknya bahwa ia adalah negosiator ulung di panggung dunia.
Kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia mengingatkan saya akan pernyataan Jenette Braverman – seorang anggota dewan Forbes yang mengatakan bahwa “A trusted leader leaves a legacy” (pemimpin yang dipercaya meninggalkan legasi).
Jokowi ingin meninggalkan legasi bahwa ia adalah presiden yang kapabel dalam bernegosiasi dan berdiplomasi dalam dinamika politik internasional.
Bagi saya, kunjungan bilateral Jokowi ke Ukraina dan Rusia adalah ajang pembuktian kepada lawan politiknya di Indonesia yang selama ini meremehkan kemampuan komunikasinya dalam dalam percaturan politik internasional.
Absen dalam Pertemuan Internasional
Suasana pertemuan empat mata antara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Presiden Joko Widodo di Istana Maryinsky, Kyiv pada Rabu (29/6/2022).(dok. Agus Suparto)
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai presiden, Jokowi sering tidak menghadiri pertemuan-pertemuan internasional. Pada periode pertamanya, Jokowi sering meminta Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla, untuk menggantikannya dalam berbagai pertemuan penting, termasuk sidang umum tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada periode pertamanya, Jokowi selalu absen dalam sidang umum PBB. Lima kali Jokowi meminta JK mewakili dirinya. Inilah yang membedakan Jokowi dengan pendahulunya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang selalu hadir dalam sidang PBB.
Karena tidak pernah hadir dalam sidang umum PBB, Jokowi sering dikritik oleh lawan-lawan politiknya, termasuk anggota Dewan Fadli Zon. Jokowi dinilai tidak memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk tampil di panggung dunia.
Kritik tersebut masuk akal karena berpidato pada sidang tahunan PBB sebetulnya merupakan momen penting untuk menunjukkan posisi Indonesia di mata dunia internasional dan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia.
Alasan “padatnya kegiatan di dalam negeri” merupakan penjelasan yang selalu disampaikan oleh pihak Istana di kala banyak orang bertanya di balik absennya Jokowi dalam sidang tahunan PBB. Sikap Jokowi yang absen dari beberapa pertemuan internasional berdampak pada perubahan arah politik luar negeri Indonesia.
Pengamat hubungan internasional berpendapat kebijakan luar negeri Indonesia di era Jokowi tergolong inward looking. Artinya fokus hanya pada politik domestik dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri ketimbang politik internasional.
Berbeda dengan SBY, arah kebijakan luar negeri Indonesia sangat outward looking dengan mengutamakan soft power dan bernuansakan high profile politics.
Artinya politik luar negeri Indonesia di era SBY fokus pada meningkatkan pengaruh dan membangun citra baik Indonesia di luar negeri. Ketika memimpin Indonesia, SBY hampir tidak pernah absen dalam berbagai persidangan internasional.
SBY pernah menjadi juru damai antara Kamboja dan Thailand atas konflik perbatasan di dekat kuil Preah Vihea. Selain itu, menyatukan kembali negara-negara anggota ASEAN dan menghasilkan pernyataan bersama menghadapi sengketa Laut Tiongkok Selatan tahun 2012.
Ajang Pembuktian
Presiden Joko Widodo dan Presiden AS Joe Biden bercengkerama sebelum sesi foto bersama para pemimpin dunia yang hadir di KTT G7 di Schloss Elmau, Jerman, Senin (27/6/2022).(Dok. Sekretariat Presiden)
Di periode keduanya, aktivitas internasional Jokowi meningkat secara signifikan. Hal ini ditandai dengan mulai dari geliatnya diplomasi dan negosiasi Jokowi menggaet investor asing untuk membiayai proyek strategis nasional termasuk pembangunan Ibu Kota baru Nusantara.
Misalnya menjalin komunikasi dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping, mempererat hubungan dengan Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan (MBZ), dan menjalin hubungan baik dengan investor asing, salah satunya CEO SoftBank Masayoshi Son.
Khusus untuk UEA – kedekatan hubungan Jokowi-MBZ berdampak pada poros baru hubungan diplomatik Indonesia-UEA yang sangat kuat sejak terbentuk tahun 1976. Dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun sejak 2020, kunjungan Jokowi ke Abu Dhabi sudah empat kali.
Kunjungan tersebut selain bertujuan menghadiri undangan MBZ dalam rangkaian Abu Dhabi Sustainability Week, kerja sama perdagangan dan investasi, tetapi juga untuk melayat atas wafatnya Presiden UEA Sheikh Khalifa bin Zayed Al Nahyan.
Setelah mengunjungi Rusia, Jokowi juga akan kembali terbang ke Abu Dhabi untuk menindaklanjuti rencana komitmen bisnis UEA dalam bentuk investasi asing sebesar Rp 468 Triliun. Selain UEA, keaktifan Jokowi dalam politik internasional semakin agresif pascaditunjuknya Indonesia sebagai Presiden G20 mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022.
Dimulai dari hadir dalam KTT G20 2021 di Roma, Italia. Hadir pada KTT ASEAN-AS di Washington, AS, dan hadir pada pertemuan KTT G7 2022 di Schloss Elmau, Jerman. Dalam pertemuan dengan kepala negara G7 juga terlihat gestur Jokowi yang sangat akrab dan santai berinteraksi dengan para pemimpin dunia.
Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa Jokowi memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan para pemimpin dunia – sesuatu yang mungkin dulu sempat diragukan oleh lawan politiknya atau pendahulunya.
Meninggalkan Legasi
Lawatan Jokowi ke Ukraina dan Rusia merupakan kunjungan bersejarah dan fenomenal. Kunjungan tersebut merupakan pembuktian Jokowi kepada lawan politiknya di Indonesia bahwa ia memiliki kemampuan dalam berperan aktif menyelesaikan konflik internasional dan membangun perdamaian dunia.
Bagi saya, kunjungan ini termasuk kunjungan bersejarah. Sejak Indonesia merdeka, kunjungan kepala negara ke wilayah konflik internasional hanya terjadi dua kali. Pertama, kunjungan Suharto ke Serbia dan Bosnia pada saat kedua negara sedang berperang.
Kedua, kunjungan JK ke Afganistan pada saat negara ini sedang berperang melawan Taliban. Bahkan dalam kunjungannya, JK juga bertemu dengan pemimpin Taliban untuk mengupayakan perdamaian di antara kedua pihak.
Keputusan Indonesia untuk netral dibuktikan dengan tidak ikut mengutuk serangan Rusia di Ukraina – meskipun sebelumnya sempat setuju dengan resolusi PBB yang meminta Rusia menghentikan serangannya di Ukraina – menurut saya merupakan langkah jitu dalam upaya mengimplementasikan prinsip gerakan non-blok (non-alignment movement) dan perlu di apresiasi.
Jokowi berhasil menunjukkan bahwa sebagai presidensi G20, Indonesia tidak tunduk pada negara-negara Barat. Keputusan Jokowi untuk tetap mengundang Rusia dalam KTT G-20 di Bali pada November 2022, menunjukkan bahwa Indonesia tidak dapat didikte oleh kepentingan barat. Sikap itulah yang membedakan Jokowi dan SBY.
Ketika masih memimpin Indonesia, SBY tampak tidak netral dalam forum G20 karena cenderung mengutamakan kepentingan negara-negara barat di Asia. Bagi saya, kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia tidak semata-mata untuk membawa misi perdamaian. Ia ingin meninggalkan legasi bahwa ia adalah negosiator yang ulung. Hal ini sering dilakukan oleh para pemimpin dunia sebelum memasuki masa pensiunnya.
Published Date : 19/07/2022 11:45:00