Syamsul Rijal
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unmul
Sebagai alat komunikasi, semua bahasa dianggap penting karena memiliki kelebihan masing-masing. Atas dasar itulah, sering kita dengar slogan dari Badan Bahasa yang berbunyi “cintai bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing”. Kalimat ini sangat bijak karena mampu menempatkan tiga bahasa dalam poisisi yang sama pentingnya. Sejak tahun 1999, setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional yang dicetuskan oleh UNESCO. Gema bahasa ibu terus meluas, termasuk ke Indonesia. Pemahaman yang sampai masyarakat lebih banyak difokuskan pada penggunaan bahasa daerah. Akhirnya, antara bahasa ibu dan bahasa daerah seolah-olah merupakan bahasa yang sama.
Bahasa daerah memang sudah terlanjur diidentikkan dengan bahasa ibu. Namun, bahasa ibu tidak selamanya adalah bahasa daerah. Sebuah bahasa disebut bahasa ibu sebab bahasa itulah yang pertama kali digunakan seorang anak saat berbicara. Jika seorang anak pertama kali berbicara menggunakan bahasa daerah, maka bahasa ibunya adalah bahasa daerah. Namun, jika seorang anak pertama kali berbicara menggunakan bahasa Indonesia, maka bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. Bahasa ibu seorang anak sangat bergantung pada penggunaan bahasa orang tuanya di rumah.
Bahasa ibu pasti diperoleh di rumah atau lingkungan keluarga. Oleh karena itu, dalam psikolinguistik sering pula disebut bahasa pertama (B1). Karena di Indonesia sebagian besar orang tua (79,5 persen berdasarkan Sensus Penduduk dan BPS 2010) di rumah bertutur dengan bahasa daerah, maka anak-anak lebih mudah memahami dan menggunakan bahasa daerah. Meskipun seorang anak dapat pula memperoleh bahasa daerah dari lingkungan sekitar, tetapi itu sudah dianggap bahasa kedua (B2).
Dengan demikian, bahasa ibu tidak akan mengalami kepunahan sedangkan bahasa daerah setiap tahun terancam kehilangan penuturnya. Jika bahasa daerah terancam kehilangan penuturnya, berarti setiap kita adalah bagian dari “pengancamnya”. Mengapa, karena di dalam keluarga dan lingkungan kitalah, nasib bahasa daerah ditentukan.
Substansi dari peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional bukanlah pada persoalan bahasa pertama apa yang digunakan dalam satu keluarga. Akan tetapi, peringatan ini lebih menitikberatkan pada keanekaragaman dan multikultural budaya di dunia. Bahkan, jika berpedoman pada sejarah lahirnya Hari Bahasa Ibu Internasional, peringatan setiap tanggal 21 Februari ini merupakan resolusi masyarakat Bangladesh yang menuntut diakuinya bahasa Bangla sebagai bahasa nasional di Pakistan. Tuntutan tersebut merenggut lima nyawa demonstran di Pakistan Timur (21 Februari 1952).
Jadi, peringatan hari bahasa ibu internasional di Bangladesh sebenarnya merupakan momentum mengingat kesedihan dan sekaligus rasa kasih dan bangga karena sulitnya memperjuangkan pengakuan bahasa ibu masyarakat Bangladesh. Hal itu kemudian direspon oleh Sekjen PBB, Kofi Annan, dan menjadi tonggak perhatian dalam rangka pelestarian bahasa ibu atau bahasa daerah di dunia.
Jika substansi peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional ini ditarik ke Indonesia, tentu sangat penting menjaga kelestarian keanekaragaman budaya, termasuk bahasa daerah yang ada di Indonesia. Perlu diingat bahwa salah satu hal penting pendukung kebhinnekaan kita di Indonesia adalah banyaknya bahasa daerah yang dituturkan. Bahasa daerah inilah yang menjadi dasar pertama para etnograf bekerja mengelompokkan etnik yang ada di Indonesia. Bahkan, bahasa daerah sudah sangat identik dengan etnik tertentu. Oleh karena itu, konsekuensinya jika bahasa daerah punah, identitas utama satu etnik sudah hilang, bahkan etnik bisa hilang secara entitas.
Lantas, mengapa bahasa daerah di Indonesia perlu dilestarikan? Pertanyaan ini akan menjawab pentingnya keanekaragaman budaya sekaligus menjadi penyumbang berlangsungnya multikultural di dunia. Pertama, bahasa daerah merupakan alat komunikasi dalam satu etnik. Komunikasi dalam satu etnik akan semakin efektif jika menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh adanya nilai rasa dalam penggunaan bahasa daerah yang tidak bisa diwakili dengan bahasa lain. Dalam satu kesempatan, Ganjar Harimansyah menyebut bahasa daerah sebagai harta yang mengandung kekayaan batin.
Kedua, bahasa daerah sebagai alat penyimpan entitas budaya dalam satu etnik. Nilai nilai budaya yang tersebar dalam satu etnik sangat rentan dilupakan karena bergantung pada kondisi kebahasaan. Nilai-nilai budaya tersebut jika sering dituturkan akan tetap lestari. Akan tetapi, nilai budaya itu akan hilang jika bahasanya punah karena tidak memiliki lagi entitas yang bisa mewujudkannya ke konteks tuturan. Kehilangan nilai budaya ini dapat meluas pada hilangnya kearifan lokal setiap daerah.
Ketiga, penyaring masuknya budaya asing. Penyerapan budaya luar memang merupakan satu keniscayaan. Akan tetapi, jika bahasa daerah masih aktif dituturkan dalam satu wilayah, setidaknya budaya tersebut tetap disaring secara bahasa. Penyaringan itu paling rendah dengan menyesuaikan pelafalan dan dialek bahasa daerah setempat. Bahasa asing yang diserap ke dalam kebutuhan sehari-hari akan otomatis disesuaikan oleh lidah penutur bahasa daerah dengan aksen kebahasaan bahasa daerah setempat.
Keempat, penjaga kelangsungan adat masyarakat etnik. Upacara-upacara adat hampir semuanya dilakukan dengan pengantar bahasa daerah. Perafalan doa dan mantra tidak akan mujarab jika tidak dituturkan dengan bahasa daerah. Hal inilah yang dimaksudkan bahwa bahasa daerah dapat menjaga dan meneruskan kultur masyarakat adat.
Kelima, bahasa daerah sebagai media penciptaan karya seni. Sebagai satu identitas, bahasa daerah dapat ditunjukkan dengan menciptakan lagu, drama, cerita rakyat, dan puisi yang berbahasa daerah. Lagu-lagu yang berbahasa daerah sering kali didaulat mewakili satu daerah sebagai simbol kesenian dan keindahan daerah tersebut. Dalam even-even nasional, sering kali lagu daerah ditampilkan dengan pakaian adat sebagai refresentatif masyarakatnya.
Selain itu, dalam proses kreativitas yang lain, bahasa daerah dapat menjadi ikon-ikon budaya dalam berbagai produk. Misalnya, penciptaan merek atau nama makanan, minuman, pakaian, atau benda-benda seni yang lain. Penciptaan nama dengan ikon kedaerah tentu sangat aneh jika menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing. Sebaliknya, nama yang diambil dari bahasa daerah tentu sangat unik. Keunikan tersebut muncul karena ketidaksamaan nama dibanding daerah lain.
Jika bahasa daerah terus lestari di Indonesia, tentu ciri kebhinnekaan kita akan tetap terjaga. Pada akhirnya, kita (Indonesia) akan menjadi salah satu negara penyumbang pengakuan kehidupan multikulturalisme di dunia.
Published Date : 02/03/2021 16:42:00